Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Saatnya Guru Berpolitik!

Oleh: Pace Verry
(Koordinator Bidang Pemberdayaan Guru, Pengurus Cabang PGRI Kabupaten Fakfak)
Fakfak, 31 Oktober 2019

Sebagian dari tulisan ini sengaja diadopsi dari pikiran sahabat saya yang pernah dirilis dalam sebuah artikel pada situs resmi sebuah organisasi profesi diakhir tahun 2018 silam. Dalam tulisan sahabat saya itu, beliau menyebutkan sedikitnya episode sejarah bangsa ini menjelaskan bahwa dahulu kala Belanda memberi dukungan pada bangsa kita untuk membangun tempat-tempat ibadah (masjid, gereja), bahkan pasar dan beberapa fasilitas publik lainnya. Namun bila rakyat dan bangsa kita mulai memperlihatkan ada kumpulan dan kelompok tertentu yang berorientasi politik maka akan segera dibubarkan.

Dogma dan stigma dari kolonialis Belanda yang diinjeksikan pada otak-otak bangsa Indonesia adalah jangan bermain politik, jangan tekuni dunia politik, jauhi politik. Politik itu kotor, menghalalkan segala cara dan tak cocok bagi masyarakat dan agamawan yang rajin ibadah. Beribadahlah dengan baik, jadilah warga masyarakat yang konsen pada profesi masing-masing.

Saya akhirnya membuat sebuah hipotesa bahwa dogma dan stigma tersebut ternyata sedang diwariskan oleh bangsa ini, Indonesia. Kondisi serupa masih ada dan sedang berlangsung dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah masyarakat kita. Setidaknya telah mengakar dan menjadi ujaran yang mencuci otak ratusan tahun bagi bangsa ini.

Saat ini pun perspektif tentang dunia politik realitasnya beragam. Ada yang alergi dan merasa tabu pada dunia politik namun ada yang tertantang untuk masuk menjadi “pemain” dalam sangkar politik. Nah bagaimana seharusnya masyarakat kita dalam merespon dunia politik?

Politik pada dasarnya adalah sebuah seni mengatur publik secara efektif. Dalam mengatur publik, dibutuhkan kompetensi kepemimpinan yang mumpuni dan diatas rata-rata agar pengelolaan kepentingan publik melahirkan kesejahteraan bersama. Hanya para pemimpin yang negarawan yang berpolitik santun dan beradab sehingga kehidupan masyarakat akan lebih baik. Mendatangkan manfaat, menciptakan kesejahteraan, melahirkan keadilan dan kebahagiaan bagi masyarakatnya.

Saat ini, Negara kita secara khusus di Tanah Papua sedang masuk pada episode tahun politik. Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif dan Pemilihan Presiden (Pilpres) yang telah kita lalui, dan menjelang hajat serentak hampir di seantero negeri ini, adalah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota pada 2020 mendatang adalah bagian dari episode tersebut. Segala hal bisa dipolitisir dan berujung demi kepentingan politik agar sebuah regim politik berkuasa dan mampu menancapkan kekuasaannya secara berkesinambungan (absolut). Tidak ada sebuah regim dengan rela melepas kekuasan pada pihak lain. Dunia politik identik dengan dunia regim, kekuasaan kelompok tertentu dan kompetisi memainkan demokrasi demi kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.

Ada beberapa profesi yang dianggap “lacur” bila masuk dunia politik yakni para ulama, pendeta, pastor, hamba Tuhan, dan tentu saja para Guru. Guru diantaranya seolah “terlarang” bila masuk dunia politik. Pernyataan ini mengingatkan kembali kita pada “fatwa” kolonialis Belanda yang melarang warganya bermain politik. Memang para guru idealnya dalam perspektif publik tidak berkiprah dalam dunia politik melainkan guru secara professional dan proporsional adalah seorang pendidik dan pengajar di sebuah lembaga pendidikan.

Seruan Pemerintah yang kerap dilontarkan kepada para guru khususnya ASN adalah jangan coba-coba bermain politik. Namun apa yang terjadi justru pemerintah dalam prakteknya baik yang ada di pemerintah pusat atau daerah provinsi dan kabupaten/kota realitasnya mempolitisasi profesi para guru untuk terlibat dan membantu memuluskan strategi politik yang dimainkan.

Tidak sedikit para kepala dinas pendidikan, para kepala sekolah dan para guru dijadikan “sandera” politik digiring menjadi tim sukses politik. Terutama di daerah, politisasi para guru sangat kental terjadi. Para penguasa lokal seolah menjadi pemilik suara para guru dalam suksesi Pilkada dan berbagai kegiatan politik. Promosi, rotasi, mutasi masih identik dengan arogansi penguasa politik lokal.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa guru memiliki dua tugas utama, pertama mendidik dan mengajar peserta didik, dan yang kedua harus menjadi pendidik publik, menjadi terang dalam kegelapan masyarakat. Termasuk dalam euforia dan dinamika politik para guru harus ambil bagian menjadi bagian dari warga politik yang baik. Para guru adalah warga politik, punya hak politik dan memiliki peluang berpolitik. Guru intinya wajib berpolitik. Wajib mensukseskan dinamika politik dimana ia tinggal.

Politik guru adalah politik edukatif. Setiap guru harus berpolitik dan memainkan peran sebagai warga masyarakat dan warga politik yang kontributif pada perbaikan bangsa, terutama didaerah. Guru harus menjadi aktor terdepan dalam memberikan warna politik edukatif dan santun. Guru tidak menebarkan kebencian, hoaks dan seruan politik yang busuk. Melainkan menebarkan kebersamaan, toleransi, mencerahkan dan memberi informasi dan alternatif pilihan politik pada publik.

Guru punya peran strategis di masyarakat. Kehadiranya harus memberi warna positif terutama
di tahun politik. “Bila guru terdiam, membisu, kaku, apatis dan tak mau tahu tentang dinamika politik maka guru sudah meninggalkan peran pengabdiannya pada masyarakat”. Guru adalah guru. Ia bisa menjadi guru secara formal ditempatnya bekerja menjelaskan mata pelajaran terkait politik pada siswanya dan Ia bisa menjadi guru secara non formal bagi publik terkait politik dimanapun Ia tinggal.
Para guru wajib berpolitik dan memberi jawaban atas dinamika politik di masyarakat. Hal yang tidak boleh adalah terjun langsung dalam dunia praktis partai politik. Mengapa demikian?

Karena Ia harus memilih sebagai politisi atau sebagai pendidik. Ia tidak boleh selfie-selfie dan “bergerombol” dengan para tim sukses calon para kepala daerah. Guru harus pada posisi terhormat, tidak terjun secara terbuka namun bermain secara cerdik mengedukasi publik agar memilih calon terbaik. Terutama terbaik bagi dunia pendidikan dalam upaya mencerdaswaraskan kehidupan bangsa.

Guru wajib berpolitik. Politik guru tentu berbeda dengan politik para politisi dan masyarakat umum. Ia harus selalu hadir untuk masyarakat saat pahit ataupun saat manis. Apalagi saat hajatan demokrasi politik Pilpres, Pilkada dan Pileg. “Guru harus menjadi “provokator” politik edukatif yang memberikan warna dan dinamika politik lebih kondusif, santun, adem dan memberkati”. Guru harus ambil bagian pada setiap geliat publik. Memberi informasi objektif, tidak memihak pada hal negatif dan mendorong lahirnya proses politik yang baik.

Guru terlarang menjadi korban politik. Guru terlarang bodoh dan buta politik. Guru terlarang untuk apatis pada dunia politik. Guru terlarang memihak pada realitas politik yang kotor. Guru terlarang mendukung politik yang begis dan menghalalkan segala cara. Guru terlarang diam membisu saat pesta demokrasi berlangsung. Guru wajib hadir sebagai bagian dari kelompok masyarakat secara cerdik dan cerdas dalam menempatkan diri sebagai warga politik dan pemilik hak politik.

Guru pada hakekatnya adalah seorang “penda’wah” kebudayaan dan adat istiadat bahkan agama. Pembawa kabar baik bagi kehidupan disekitarnya, termasuk dalam hal politik. Guru harus menjadikan euforia politik publik sebagai media pembelajaran dalam memberikan guiden berdemokrasi. Guru adalah bagian dari masyarakat, predikat dan profesinya memberi peran moral untuk menjadi guru dimanapun Ia tinggal. Publik sebaiknya menjadikan para guru yang baik sebagai rujukan politik dalam memberikan hak suaranya dalam Pilpres, Pilkada dan Pileg
.
Saatnya para guru berpolitik. Bila para guru absen dalam sebuah dinamika di tubuh internal publik, maka peran dan fungsi guru dalam berbangsa dan bernegara untuk mencerdaswaraskan kehidupan menjadi dipertanyakan. Guru di era distrupsi adalah guru yang mampu menembus ruang dan waktu memberi pencerahan dan kewarasan termasuk dalam hal dinamika politik ditahun politik.

Dunia politik sebaiknya bukan dunia gelap dan asing bagi para guru. Dunia politik harus diwarnai oleh para guru, karena guru adalah kekuatan moral edukatif bagi bangsa dan negara.

Jangan-jangan karena guru dialienasi (diasingkan) dari dinamika politik maka dunia politik menjadi machiavelistik. Idealnya dinamika politik itu mendidik sebuah bangsa dan generasi agar mampu mencapai tujuan bersama dalam keragaman aspirasi. Melibatkan guru bukanlah sebuah dosa selama etika pendidiknya masih kuat melekat.

Sahabat Guruku, selamat berpolitik dalam konteks edukasi!

(https://drive.google.com/file/d/1aczlaGXvLZh2JIH5Cysnqp_88Ym-O9Rv/)