Situasi Bahasa di West Papua
Artikel berikut mengenai bahasa yang kembali sa posting disini bersumber dari sebuah website yang memfokuskan riset pada bahasa.
Center for Endangered Languages Documentation (CELD) UNIPA Manokwari lahir sebagai suatu lembaga yang memahami bahwa ketika suatu bahasa atau budaya hilang maka harga dan identitas diri dari suatu kelompok penutur bahasa dan/atau kelompok kebudayaan akan hilang pula. (http://celd.uni-koeln.de)
Ada lebih dari 700 bahasa terdapat di Indonesia. Sekitar 280 yaitu 35 % dari jumlah bahasa tersebut terdapat di provinsi Papua dan Papua Barat (Ethnologue).
Bahasa-bahasa ini tergolong dalam kelompok bahasa Austronesian dan kelompok bahasa Papuan. Kelompok bahasa Papuan yang terbesar adalah bahasa Dani Barat dengan jumlah penutur sebanyak 180.000 orang; sedangkan untuk Austronesian adalah bahasa Biak (30.000).
Sapone adalah bahasa Papua yang memiliki penutur paling sedikit (4) dan bahasa Mapia yang hanya memiliki satu orang penutur, menjadikannya sebagai bahasa Austronesia dengan jumlah penutur yang paling sedikit.
Banyak bahasa di Indonesia yang mengarah kepada kepunahan. Kebanyakan dari bahasa-bahasa tersebut berada di propinsi Papua dan Papua Barat. Bahasa-bahasa yang terancam punah diartikan sebagai bahasa-bahasa yang lingkup pemakaiannya sekarang ini mengalami penurunan yang sangat drastis. Penurunan ini dengan sendirinya menunjukkan bahwa pada kenyataannya kemampuan berbahasa penutur yang berusia di bawah 20 tahun sangat bervariasi, dari penutur yang sangat fasih dalam menggunakan bahasa mereka setiap hari sampai pada penutur dengan kemampuan bahasa secara pasif.
Lihat juga: Ketka Jabatan Adat dipakai Untuk dukungan
Berdasarkan Atlas of the World’s Languages in Danger (UNESCO 2009), lebih dari 200 bahasa telah punah selama tiga generasi terakhir, 538 hampir punah, 502 sangat cepat punah, 632 pasti punah dan 607 tidak terselamatkan. Perlahan tapi pasti, sejumlah ahli bahasa dan pemerhati budaya yang peduli terhadap isu ini melibatkan pemerintah, LSM-LSM dan pusat-pusat budaya, ilmu pengetahuan dan pendidikan untuk secara aktif memberikan tanggapan konstruktif terhadap isu yang terus mengglobal ini.
"Punahnya sebuah bahasa mengarah kepada hilangnya bentuk-bentuk warisan budaya yang tak dapat diukur, khususnya warisan yang tak ternilai dari tradisi-tradisi dan ujaran-ujaran lisan dari masyakarat penutur – mulai dari puisi dan cerita legenda sampai ke perumpamaan dan lelucon-lelucon.
Punahnya bahasa-bahasa juga akan memberikan kerugian pada pengetahuan manusia tentang keragaman hayati, karena bahasa adalah penyalur banyak pengetahuan tentang alam dan jagad raya.” Koïchiro Matsuura (UNESCO Director-General).
Center for Endangered Languages Documentation (CELD) UNIPA Manokwari lahir sebagai suatu lembaga yang memahami bahwa ketika suatu bahasa atau budaya hilang maka harga dan identitas diri dari suatu kelompok penutur bahasa dan/atau kelompok kebudayaan akan hilang pula. (http://celd.uni-koeln.de)
Ada lebih dari 700 bahasa terdapat di Indonesia. Sekitar 280 yaitu 35 % dari jumlah bahasa tersebut terdapat di provinsi Papua dan Papua Barat (Ethnologue).
Bahasa-bahasa ini tergolong dalam kelompok bahasa Austronesian dan kelompok bahasa Papuan. Kelompok bahasa Papuan yang terbesar adalah bahasa Dani Barat dengan jumlah penutur sebanyak 180.000 orang; sedangkan untuk Austronesian adalah bahasa Biak (30.000).
Sapone adalah bahasa Papua yang memiliki penutur paling sedikit (4) dan bahasa Mapia yang hanya memiliki satu orang penutur, menjadikannya sebagai bahasa Austronesia dengan jumlah penutur yang paling sedikit.
Banyak bahasa di Indonesia yang mengarah kepada kepunahan. Kebanyakan dari bahasa-bahasa tersebut berada di propinsi Papua dan Papua Barat. Bahasa-bahasa yang terancam punah diartikan sebagai bahasa-bahasa yang lingkup pemakaiannya sekarang ini mengalami penurunan yang sangat drastis. Penurunan ini dengan sendirinya menunjukkan bahwa pada kenyataannya kemampuan berbahasa penutur yang berusia di bawah 20 tahun sangat bervariasi, dari penutur yang sangat fasih dalam menggunakan bahasa mereka setiap hari sampai pada penutur dengan kemampuan bahasa secara pasif.
Lihat juga: Ketka Jabatan Adat dipakai Untuk dukungan
Berdasarkan Atlas of the World’s Languages in Danger (UNESCO 2009), lebih dari 200 bahasa telah punah selama tiga generasi terakhir, 538 hampir punah, 502 sangat cepat punah, 632 pasti punah dan 607 tidak terselamatkan. Perlahan tapi pasti, sejumlah ahli bahasa dan pemerhati budaya yang peduli terhadap isu ini melibatkan pemerintah, LSM-LSM dan pusat-pusat budaya, ilmu pengetahuan dan pendidikan untuk secara aktif memberikan tanggapan konstruktif terhadap isu yang terus mengglobal ini.
"Punahnya sebuah bahasa mengarah kepada hilangnya bentuk-bentuk warisan budaya yang tak dapat diukur, khususnya warisan yang tak ternilai dari tradisi-tradisi dan ujaran-ujaran lisan dari masyakarat penutur – mulai dari puisi dan cerita legenda sampai ke perumpamaan dan lelucon-lelucon.
Punahnya bahasa-bahasa juga akan memberikan kerugian pada pengetahuan manusia tentang keragaman hayati, karena bahasa adalah penyalur banyak pengetahuan tentang alam dan jagad raya.” Koïchiro Matsuura (UNESCO Director-General).